Hukuman Kebiri Kimia
Kekerasan seksual terhadap anak secara umum merupakan bentuk kegiatan yang melibatkan anak belum cukup umur yang sebagaimana diatur dalam undang-undang ke dalam aktivitas seksual yang dilakukan bersamaan dengan orang dewasa, atau orang yang lebih tua umurnya yang memahami aktivitas seksual. Dalam hal ini, kegiatan yang termasuk ke dalam bentuk kekerasan seksual terhadap anak yakni mencium atau menyentuh organ kelamin anak, memperlihatkan kelamin kepada anak, memperlihatkan media atau benda porno kepada anak.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan seorang ibu.Penjatuhan sanksi terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak telah diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang tentang perlindungan anak, namun masih terdapat beberapa kelemahan yang timbul terhadap sanksi hukum. Sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan tersebut dirasa tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, bahkan pelaku mengulangi perbuatannya kepada korban.
Hukuman kebiri kimia dijelaskan pada Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Selain mendapatkan tindakan kebiri kimia, pelaku juga mendapatkan hukuman berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kemudian peraturan tersebut disahkan menjadi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016, tujuan dari adanya perubahan tersebut yaitu untuk memberikan hukuman yang jera bagi para pelaku kekerasan seksual kepada anak dengan memodifikasi sanksi pidana di dalamnya dan menambahkan hukuman kebiri kimia. Hukuman kebiri kimia dianggap sebagai suatu kebutuhan dalam penghukuman bagi para pelaku tindak pidana kekerasan seksual kepada anak, sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Menurut Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronk, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak menyatakan bahwa tindakan kebiri kimia merupakan tindakan pemberian zat kimia melalui metode penyuntikan maupun metode lain, yang diberikan kepada pelaku yang pernah dipidana karena telah melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang memaksa anak untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit seksual menular, hilang atau terganggunya organ reproduksi, korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, disertai dengan rehabilitasi.
Jika sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 hanya mengatur mengenai sanksi kebiri kimia tanpa adanya tata cara pelaksanaannya yang seperti apa, maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 diatur tata cara kebiri kimia mulai dari bagaimana tahapan awal, dan siapa yang berhak melakukannya. Secara umum, kebiri kimia dilakukan dengan cara zat kimia berupa anti androgen ke dalam tubuh seseorang agar produksi hormon testosteron mengalami penurunan, sehingga hasrat seksual menurun. Dalam dunia kedokteran, hormon testosteron merupakan hormon yang memiliki fungsi seksual dalam kelamin pria, sehingga apabila anti-androgen dimasukkan kedalam kelamin pria, maka zat tersebut akan membendung kelenjar di otak agar tidak memproduksi hormon testosteron, sehingga gairah seksual menjadi menurun.
Dengan adanya penerapan hukuman kebiri kimia, menimbulkan sejumlah perbedaan pandangan yang menjadi pro dan kontra, salah satunya yakni HAM, sejumlah pengamat mengatakan bahwa kebiri kimia merupakan hukuman sadis yang melanggar HAM. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada diri manusia, dan merupakan suatu anugerah dari Tuhan, yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati oleh negara, maka hukuman kebiri kimia dinilai tidak manusiawi dan dianggap merendahkan derajat manusia sebagaimana yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Pada Pasal 28G ayat 2 UUD 1945 yang menjamin hak warga negara bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Selain Pasal 28G ayat 2 UUD 1945, pada Pasal 28I ayat 1 UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang atau warganegara berhak atas hak hidup, tidak boleh mendapatkan penyiksaan, bebas dalam berpikir dan hati nurani, bebas dalam memilih agama, tidak boleh diperbudak, dituntut atasdasar hukum yang berlaku, dan hak-hak tersebut tidak dapat dikurangi atau dihilangkan dalam keadaan apapun oleh orang lain.
Isi kedua pasal di atas memiliki arti bahwa di UUD 1945 terdapat jaminan bagi seluruh warga negara Indonesia atas perlindungan kemanusiaan terutama berkenaan dengan bebas penyiksaan bebas dari perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat sebagai seorang manusia, hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Maka dengan adanya penerapan hukuman kebiri kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak jelas berbanding terbalik dengan UUD 1945.
Melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat merupakan tujuan dari hukum pidana sendiri. Tujuan hukum pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia tujuannya adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga terciptanya kehidupan yang aman, damai dan sejahtera di lingkungan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar